Jalan di Ujung Sawah
Gemercik
air yang mengalir dari sungai menuju hektaran sawah yang mengitarinya memecah
kesunyian di sebuah kampung pagi itu. Mentari yang telah mulai bersiap
menampakkan sinarnya, lantunan ayat suci Al – Quran mengalun indah dari sebuah
gubuk di jalan ujung sawah disana. Rombongan para petani silih berganti lalu
lalang menuju tempat mereka masing – masing. Para bocah berlarian saling kejar
mengejar menambah riuhnya pagi itu.
Dari kejauhan tampak sebuah gubuk kecil yang terletak dipinggir jalan di ujung sawah, berpenghuni tiga orang dan tak ada perabotan mewah di dalamnya. Kakek Paeno, Nenek Tukijah, dan seorang gadis muda yang tampak seperti cucunya bernama Sri. Kakek Paeno adalah seorang petani yang sudah beberapa tahun ini menggarap lahan milik orang yang setiap pekerjaannya selalu dibantu oleh istrinya, Nenek Tukijah. Selain itu, cucunya Sri juga kerap nampak disawah bersama nenek dan kakeknya.
Tak ada yang
dapat kakek dan nenek tersebut kerjakan memang selain menghabiskan sisa usianya
dengan menggarap lahan milik orang. Mereka berdua tak kuat jika harus membeli
lahan yang harganya bisa mencapai berpuluh – puluh juta, maka dari itu mereka
menjadi buruh untuk menggarap lahan dari seseorang yang kaya di daerah mereka.
Pagi itu gerimis
mulai turun, dan Nenek Tukijah telah bersiap dengan ember – ember usangnya
untuk menadah air hujan yang mulai masuk melalui celah – celah genting di
gubuknya. Dibantu dengan cucunya, Kakek Paeono mulai munutup tempat mereka
berbaring dan tempat menyimpan baju dengan terpal yang sudah bolong dimana –
mana. Begitulah suasana gubuk tersebut ketika hujan turun. Sibuk untuk
menyelamatkan harta berharga yang mereka miliki. Rumah milik Kakek Paeno dan
Nenek Tukijah berukuran kira – kira 4 x 5 meter. Disana hanya terdapat ranjang
reot yang sudah lapuk dimakan rayap yang digunakan untuk tidur mereka bertiga.
Tempat mereka biasanya berkumpul terdapat 3 kursi yang terbuat dari kayu yang
salah satu kursinya sudah tak ada sandarannya, meja dari anyaman rotan yang
terdapat bercak noda dimana – mana. Di sisi lainya terdapat tempat yang biasa
nenek gunakan sebagai tempat memasak, namun bukan dapur. Tak ada kompor disana,
yang ada hanya tungku kayu dan beberapa peralatan yang sudah tertutup oleh
kilauan hitam bekas pembakaran. Tentu dari kesemuanya itu belum layak dikatakan
sebagai sebuah rumah tempat berlindung dan istana bagi keluarga tersebut.
Namun, meskipun
begitu tak pernah sekalipun Sari, cucu mereka mengeluh dengan keadaan seperti
itu. Baginya, gubuk tersebutlah satu – satunya tempat di dunia ini yang ia bisa
miliki, dan disanalah ia mendapatkan kasih sayang didalamnya. Karena Sari sudah
tak lagi memiliki orang tua, adik ataupun kakak. Orang tua Sari merantau, namun
sudah berpuluh – puluh tahun tak ada kabar dan tak kunjung pulang untuk
menjemputnya. Hanya Kakek Supeno dan Nenek Tukijah yang merawat dan menjaga
Sari dari masih bayi hingga sudah dewasa seperti ini.
Pagi itu,
seperti biasanya Sari berangkat pagi – pagi sekali dengan jalan kaki dan membawa
sayuran yang telah dipetiknya tadi sore untuk dijual di pasar yang jaraknya
kira – kira 3 km dari gubuknya. Sari harus melewati persawahan, menyebrangi
sungai, lalu menaiki bukit dan menuruni bukit, dan melewati perkebunan tebu
untuk sampai di pasar. Perjalanan tersebut ia lalui 2 hari sekali. Tak pernah
sekalipun ia mengeluh kepada nenek dan kakeknya meskipun ia terkadang merasa
sangat letih untuk berjalan.
Perjalanan kira
– kira memerlukan waktu 2 jam. Setibanya di pasar, Sari langsung menggelar
dagangannya di deretan para penjual sayur. Ia berjualan macam – macam sayur,
ada kangkung, daun ketela, daun pepaya, dan ada daun semanggi. Satu persatu
pembeli mulai berdatangan, namun kebanyakan yang membeli adalah para lansia.
Sari tak tega melihatnya, sehingga ia tak sampai hati untuk dibayar. Ia
memiliki pelanggan tetap yaitu seorang nenek yang berjualan pecel. Nenek
tersebut selalu membeli sayuran dari Sari, dan seperti biasa, Sari hanya
meminta separo dari harga biasanya. Sari memang seperti itu, pernah suatu kali,
Sari pulang kerumah hanya membawa uang 1000, karena semua sayurnya ia berikan
kepada nenek tua itu, nenek itu bercerita ia tidak punya uang lagi untuk
membeli sayur bahan pecelnya karena semua uangnya sudah digunakan untuk berobat
suaminya. Sari membayangkan kakek neneknya, apa yang terjadi jika salah satu
dari mereka sakit dan Sari tak punya uang untuk membelikannya obat.
Hari itu Sari
lumayan mendapat rizki, ia pulang ketika siang menjelang. Sesampainya dirumah
ia segera melaksanakan shalat dan memasak untuk kakek dan neneknya. Dirumah,
Sari tak menjumpai kakek neneknya, itu tandanya kakek dan neneknya masih ada di
sawah. Sari segera memasak dan mengantarkan masakannya tersebut ke sawah.
Memang ia tak memasak masakan yang mewah, cukup dengan tempe goreng, sambal,
dan sayur bening. Sangat pas untuk siang itu yang udaranya sedikit sejuk,
karena terletak di pegunungan.
Semua orang yang
ada di sawah sudah hafal dengan Sari. Setiap siang selalu datang dan membawakan
makanan untuk kakek dan neneknya dan selalu menyapa siapa saja yang ia temui.
Kemudian Sari, kakek dan neneknya makan bersama ditengah persawahan. Meskipun
dengan makanan seadanya namun kebersamaan seperti itulah yang membuat mereka
bertiga begitu menikmati makanan tersebut.
Selesai mereka
makan, mereka bertiga kemudian pulang bersama – sama. Sangat indah dipandang
kebersamaan keluarga itu. Menjadikan orang yang melihatnyan iri. Ditengah
perjalanan, mereka bertemu dengan sekelompok laki – laki yang berpakaian rapi
dan berpenampilan santun. Mereka adalah mahasiswa dari kota yang sedang
melakukan kegiatan KKN. Tiga orang laki – laki dan dua orang perempuan.
“ Sugeng siang ,
mbah. Sampon kondur?”
“ Selamat siang,
le. Sampon, sampon sayah.” Jawaban dari kakek.
“ Geh mpon. Monggo,
Mbah .” sahut salah satu mahasiswa.
“ Nggeh nggeh,
monggo le.” Kata Kakek.
Mereka bertiga
melanjutkan perjalanan pulang kembali. Namun ada yang aneh dengan Sari, ia
nampak senyum – senyum dan wajahnya kelihatan sangat merona dan berseri. Apakah
efek hawa dingin yang menyergap siang itu atau ada hal lain yang membuatnya
begitu. Ia nampak terus begitu hingga sampai dirumah. Neneknya baru menyadari
ketika Sari ditanya tapi Sari tak menjawab malah senyum – senyum tak jelas.
Sampai – sampai neneknya mencubit Sari, baru kemudian Sari sadar dari
lamunannya. Ketika ditanya, Sari hanya senyum saja dan menjawab tak ada apa –
apa dengan terbata – bata.
Hari – hari
berlalu, Sari sedikit berubah, dia sekarang jarang pergi kepasar. Jika biasanya
ia kepasar 2 hari sekali, namun ini belum tentu 4 hari sekali. Sari lebih
sering pergi kesawah membantu kakek dan neneknya, mengirim makanan, dan
menemani kakek neneknya bekerja. Neneknya mulai bingung dengan apa yang terjadi
dengan Sari. Dengan penuh perhatian dan sangat hati – hati karena takut
menyinggung hati Sari, neneknya menanyai Sari dengan cara halus dan sangat
lembut. Dan dari sinilah Sari mengaku bahwa dia sedang bahagia karena seorang
laki – laki yang sering ia temui ketika pergi ke sawah. Benar dugaan sang nenek,
cucunya sedang bahagia. Lalu hal ini diceritakan kepada sang kakek. Sang nenek
dan kakek tak sedikitpun marah atau kecewa dengan apa yang terjadi.
Suatu hari, saat
siang menjelang ketika Sari mengantarkan makanan ke sawah, ia kaget melihat pemandangan
di gubuk persawahan. Disana nampak kakeknya duduk bersila dengan seorang laki –
laki yang merupakan mahasiswa yang sedang KKN. Sari berhenti berjalan dan terus
memandangi dari kejauhan. Setelah beberapa lama, Sari kemudian melanjutkan
perjalanan dan menghampiri neneknya di sawah. Sari memanggil neneknya lalu ia
bertanya apa yang sedang dilakukan sang kakek. Lalu nenek menceritakan
semuanya, nenek mengatakan bahwa kakek dan nenek telah meyusun rencana untuk
mengatakan apa yang sedang Sari rasakan akhir – akhir ini. Sari kaget
mendengarnya, ia tersendat dan tampak sangat kaget. Ia tak dapat berkata apa –
apa lagi. Sari dan nenek saling diam dan saling memandang.
Hari – hari
berlalu, Sari telah menjadi dirinya seperti sedia kala. Ia kembali pergi ke
pasar untuk menjual sayuran. Saat akan menyebrang sungai, Sari bertemu dengan
mahasiswa KKN yang ia lihat kemarin berdua dengan kakeknya. Sari ingin berbalik
arah, namun ia takut, lalu ia melanjutkan saja perjalanannya sambil pura – pura
tak melihat laki – laki itu. Namun ketika ia akan menyebrang, laki – laki itu
menyapa Sari dan mengajaknya ngobrol sebentar. Laki – laki tersebut
menceritakan semuanya kepada Sari tentang apa yang kemarin dia obrolkan dengan
kakek Sari. Sari tambah kaget dan ia tak menyangka dengan apa yang baru saja
didengarnya. Kakeknya menyangka bahwa Sari menyukai laki – laki ini, namun itu
salah. Sari memang sedang jatuh cinta, namun bukan laki – laki ini yang
dimaksud. Sari jatuh cinta dengan laki – laki bukan yang menyapa ketika pertama
bertemu di ujung jalan di persawahan, namun dengan laki – laki yang berjalan
beriringan dengan mahasiswa tersebut. Laki – laki yang berpakaian sangat
sederhana dan mendampingi para mahasiswa tersebut. Namanya tidak salah adalah
Agus. Anak dari seorang petani sayur yang sudah ia idamkan sejak lama, namun
akhir – akhir ini jarang bertemu karena si Agus sedang keluar kota untuk
mengirim sayur.
Setelah pulang
dari pasar, Sari lalu menyusul kakek dan neneknya di sawah tentunya dengan
membawa masakan yang telah ia masak. Ditengah perjalanan, entah ada angin apa,
Sari bertemu dengan Agus. Tepat di sebuah jalan di ujung sawah ia berpapasan
dan saling memandang namun tak saling menyapa. Saling mengharap sapaan namun
tak saling menyapa, saling memendam rasa namun tak saling mengungkapkan, saling
menunggu namun tak saling . . .
Kakek dan
neneknya telah menunggu di gubuk tempat mereka biasanya makan. Sari datang
dengan wajah berseri dan tampaknya sangat bahagia. Kakek dan nenek mengira bahwa
ia baru saja bertemu salah satu mahasiswa KKN yang ia kagumi. Kakek dan nenek
turut bahagia melihat Sari. Lalu nenek memulai percakapan dengan gurauan,
“ Bahagia, nduk.
Alhamdulillah, pasti semua sayuran habis laris manis.”
“ Mboten, lagi
bahagia ketemu yang membuat bahagia, Nti.”
“ Sinten kuwi
cah ayu?” sahut kakek.
Mendengar
kakeknya menyahut, Sari tak berani berkata lagi. Ia hanya tersenyum malu.
Mereka melanjutkan makan sambil bergurau. Setelah selesai makan, Sari
menceritakan semuanya tentang apa yang ia rasakan. Ia mengatakan kepada kakek
dan neneknya bahwa ia sebenarnya tidak mengagumi orang seperti yang dimaksud
kakek dan neneknya. Ia memang sedang mengagumi salah seorang dari rombongan
yang dulu pernah menyapa kakek ketika di sebuah jalan di ujung sawah namun
bukan mahasiswa yang sedang KKN. Kakek dan nenek mendengarkan cerita Sari
dengan seksama. Beberapa kali tersenyum dan tampak juga raut muka kaget. Namun
kakek dan nenek berusaha untuk tidak memotong pembicaraan Sari. Nenek dan kakek
menunggu Sari selesai berbicara lalu baru berpendapat. Kakek dan nenek lega,
karena ia tidak mengagumi orang yang tidak setara kehidupannya dengannya. Kakek
dan nenek bersyukur lega.
. . . .
Seiring bumi
berputar dan waktu kian berjalan. Rumah disebuah jalan di ujung sawah tak lagi
berpenghuni. Beberapa bagian telah roboh dan disana – sini nampak sampah
berceceran tanda telah bertahun – tahun tak dihuni. Sari kini telah menjadi
seorang istri dengan seorang anak perempuan lucu yang kini menghiasi hidupnya
tiap hari. Ayah dari anak perempuan lucu tersebut adalah seorang juragan
sayuran. Ya Agus, laki – laki yang Sari kagumi sejak kakek dan neneknya masih
hidup dulu telah melamarnya dan mempersuntingnya. Sari dilamar beberapa bulan
setelah kematian kakeknya, lalu sebulan setelahnya ia melangsungkan pernikahan.
Agus memboyong Sari dan neneknya kerumahnya, ia tak tega jika Sari dan neneknya
harus tinggal disebuah rumah yang lebih layak disebut gubuk itu. Neneknya
meninggal dunia saat Sari tengah mengandung 1 bulan pertama. Kesedihan Sari
begitu dalam hingga kandungannya itu tak dapat lagi ia pertahankan. Entah
cobaan apa yang sedang menimpanya itu. Sang suami dengan sabar membimbing Sari
agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. 3 bulan berselang, Sari kembali
mengandung, dan ia tahu kalau ia tengah hamil pada usia kandungan 5 minggu.
Betapa senang hati Sari dan suaminya. Atas rasa bersyukurnya ini, Sari dan
suaminya mengadakan syukuran, selain untuk rasa terimakasih kepada Allah, ini
juga sebagai harapan agar Sari dan jabang bayinya selalu diberi kesehatan
hingga melahirkan. Tepat satu tahun sang nenek meninggal, lahirnya bayi
perempuan mungil dengan selamat. Bayi mungil tersebut membawa kebahagiaan dalam
keluarga kecil Sari. Melia Rahma, nama yang diharapkan dapat membawa keberkahan
dan menjadikannya sholihah dan selalu rendah hati seperti orang tuanya.
Layaknya malaikat kecil yang dianugerahkan Allah kepada Sari dan suaminya,
kehidupan mereka menjadi semakin lebih baik. Penjualan sayurannya mulai
merambah ke banyak kota, persawahan untuk ditanami sayur – sayuran tak kurang
dari 1 hektar. Rumah yang Sari tinggali
sekarang tak seperti rumahnya dulu, kecil, usang, sempit, penuh bocor dimana –
mana, dan tak layak disebut rumah, kini telah menjadi sebuah istana megah
ditengah sebuah perkampungan yang berhawa sejuk.
....
😀
BalasHapus😀
BalasHapus