Jumat, 24 Oktober 2014

Cerpen tentang cinta



Jalan di Ujung Sawah
            Gemercik air yang mengalir dari sungai menuju hektaran sawah yang mengitarinya memecah kesunyian di sebuah kampung pagi itu. Mentari yang telah mulai bersiap menampakkan sinarnya, lantunan ayat suci Al – Quran mengalun indah dari sebuah gubuk di jalan ujung sawah disana. Rombongan para petani silih berganti lalu lalang menuju tempat mereka masing – masing. Para bocah berlarian saling kejar mengejar menambah riuhnya pagi itu.
           
Dari kejauhan tampak sebuah gubuk kecil yang terletak dipinggir jalan di ujung sawah, berpenghuni tiga orang dan tak ada perabotan mewah di dalamnya. Kakek Paeno, Nenek Tukijah, dan seorang gadis muda yang tampak seperti cucunya bernama Sri. Kakek Paeno adalah seorang petani yang sudah beberapa tahun ini menggarap lahan milik orang yang setiap pekerjaannya selalu dibantu oleh istrinya, Nenek Tukijah. Selain itu, cucunya Sri juga kerap nampak disawah bersama nenek dan kakeknya.
Tak ada yang dapat kakek dan nenek tersebut kerjakan memang selain menghabiskan sisa usianya dengan menggarap lahan milik orang. Mereka berdua tak kuat jika harus membeli lahan yang harganya bisa mencapai berpuluh – puluh juta, maka dari itu mereka menjadi buruh untuk menggarap lahan dari seseorang yang kaya di daerah mereka.
Pagi itu gerimis mulai turun, dan Nenek Tukijah telah bersiap dengan ember – ember usangnya untuk menadah air hujan yang mulai masuk melalui celah – celah genting di gubuknya. Dibantu dengan cucunya, Kakek Paeono mulai munutup tempat mereka berbaring dan tempat menyimpan baju dengan terpal yang sudah bolong dimana – mana. Begitulah suasana gubuk tersebut ketika hujan turun. Sibuk untuk menyelamatkan harta berharga yang mereka miliki. Rumah milik Kakek Paeno dan Nenek Tukijah berukuran kira – kira 4 x 5 meter. Disana hanya terdapat ranjang reot yang sudah lapuk dimakan rayap yang digunakan untuk tidur mereka bertiga. Tempat mereka biasanya berkumpul terdapat 3 kursi yang terbuat dari kayu yang salah satu kursinya sudah tak ada sandarannya, meja dari anyaman rotan yang terdapat bercak noda dimana – mana. Di sisi lainya terdapat tempat yang biasa nenek gunakan sebagai tempat memasak, namun bukan dapur. Tak ada kompor disana, yang ada hanya tungku kayu dan beberapa peralatan yang sudah tertutup oleh kilauan hitam bekas pembakaran. Tentu dari kesemuanya itu belum layak dikatakan sebagai sebuah rumah tempat berlindung dan istana bagi keluarga tersebut.
Namun, meskipun begitu tak pernah sekalipun Sari, cucu mereka mengeluh dengan keadaan seperti itu. Baginya, gubuk tersebutlah satu – satunya tempat di dunia ini yang ia bisa miliki, dan disanalah ia mendapatkan kasih sayang didalamnya. Karena Sari sudah tak lagi memiliki orang tua, adik ataupun kakak. Orang tua Sari merantau, namun sudah berpuluh – puluh tahun tak ada kabar dan tak kunjung pulang untuk menjemputnya. Hanya Kakek Supeno dan Nenek Tukijah yang merawat dan menjaga Sari dari masih bayi hingga sudah dewasa seperti ini.
Pagi itu, seperti biasanya Sari berangkat pagi – pagi sekali dengan jalan kaki dan membawa sayuran yang telah dipetiknya tadi sore untuk dijual di pasar yang jaraknya kira – kira 3 km dari gubuknya. Sari harus melewati persawahan, menyebrangi sungai, lalu menaiki bukit dan menuruni bukit, dan melewati perkebunan tebu untuk sampai di pasar. Perjalanan tersebut ia lalui 2 hari sekali. Tak pernah sekalipun ia mengeluh kepada nenek dan kakeknya meskipun ia terkadang merasa sangat letih untuk berjalan.
Perjalanan kira – kira memerlukan waktu 2 jam. Setibanya di pasar, Sari langsung menggelar dagangannya di deretan para penjual sayur. Ia berjualan macam – macam sayur, ada kangkung, daun ketela, daun pepaya, dan ada daun semanggi. Satu persatu pembeli mulai berdatangan, namun kebanyakan yang membeli adalah para lansia. Sari tak tega melihatnya, sehingga ia tak sampai hati untuk dibayar. Ia memiliki pelanggan tetap yaitu seorang nenek yang berjualan pecel. Nenek tersebut selalu membeli sayuran dari Sari, dan seperti biasa, Sari hanya meminta separo dari harga biasanya. Sari memang seperti itu, pernah suatu kali, Sari pulang kerumah hanya membawa uang 1000, karena semua sayurnya ia berikan kepada nenek tua itu, nenek itu bercerita ia tidak punya uang lagi untuk membeli sayur bahan pecelnya karena semua uangnya sudah digunakan untuk berobat suaminya. Sari membayangkan kakek neneknya, apa yang terjadi jika salah satu dari mereka sakit dan Sari tak punya uang untuk membelikannya obat.
Hari itu Sari lumayan mendapat rizki, ia pulang ketika siang menjelang. Sesampainya dirumah ia segera melaksanakan shalat dan memasak untuk kakek dan neneknya. Dirumah, Sari tak menjumpai kakek neneknya, itu tandanya kakek dan neneknya masih ada di sawah. Sari segera memasak dan mengantarkan masakannya tersebut ke sawah. Memang ia tak memasak masakan yang mewah, cukup dengan tempe goreng, sambal, dan sayur bening. Sangat pas untuk siang itu yang udaranya sedikit sejuk, karena terletak di pegunungan.
Semua orang yang ada di sawah sudah hafal dengan Sari. Setiap siang selalu datang dan membawakan makanan untuk kakek dan neneknya dan selalu menyapa siapa saja yang ia temui. Kemudian Sari, kakek dan neneknya makan bersama ditengah persawahan. Meskipun dengan makanan seadanya namun kebersamaan seperti itulah yang membuat mereka bertiga begitu menikmati makanan tersebut.
Selesai mereka makan, mereka bertiga kemudian pulang bersama – sama. Sangat indah dipandang kebersamaan keluarga itu. Menjadikan orang yang melihatnyan iri. Ditengah perjalanan, mereka bertemu dengan sekelompok laki – laki yang berpakaian rapi dan berpenampilan santun. Mereka adalah mahasiswa dari kota yang sedang melakukan kegiatan KKN. Tiga orang laki – laki dan dua orang perempuan.
“ Sugeng siang , mbah. Sampon kondur?”
“ Selamat siang, le. Sampon, sampon sayah.” Jawaban dari kakek.
“ Geh mpon. Monggo, Mbah .” sahut salah satu mahasiswa.
“ Nggeh nggeh, monggo le.” Kata Kakek.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan pulang kembali. Namun ada yang aneh dengan Sari, ia nampak senyum – senyum dan wajahnya kelihatan sangat merona dan berseri. Apakah efek hawa dingin yang menyergap siang itu atau ada hal lain yang membuatnya begitu. Ia nampak terus begitu hingga sampai dirumah. Neneknya baru menyadari ketika Sari ditanya tapi Sari tak menjawab malah senyum – senyum tak jelas. Sampai – sampai neneknya mencubit Sari, baru kemudian Sari sadar dari lamunannya. Ketika ditanya, Sari hanya senyum saja dan menjawab tak ada apa – apa dengan terbata – bata.
Hari – hari berlalu, Sari sedikit berubah, dia sekarang jarang pergi kepasar. Jika biasanya ia kepasar 2 hari sekali, namun ini belum tentu 4 hari sekali. Sari lebih sering pergi kesawah membantu kakek dan neneknya, mengirim makanan, dan menemani kakek neneknya bekerja. Neneknya mulai bingung dengan apa yang terjadi dengan Sari. Dengan penuh perhatian dan sangat hati – hati karena takut menyinggung hati Sari, neneknya menanyai Sari dengan cara halus dan sangat lembut. Dan dari sinilah Sari mengaku bahwa dia sedang bahagia karena seorang laki – laki yang sering ia temui ketika pergi ke sawah. Benar dugaan sang nenek, cucunya sedang bahagia. Lalu hal ini diceritakan kepada sang kakek. Sang nenek dan kakek tak sedikitpun marah atau kecewa dengan apa yang terjadi.
Suatu hari, saat siang menjelang ketika Sari mengantarkan makanan ke sawah, ia kaget melihat pemandangan di gubuk persawahan. Disana nampak kakeknya duduk bersila dengan seorang laki – laki yang merupakan mahasiswa yang sedang KKN. Sari berhenti berjalan dan terus memandangi dari kejauhan. Setelah beberapa lama, Sari kemudian melanjutkan perjalanan dan menghampiri neneknya di sawah. Sari memanggil neneknya lalu ia bertanya apa yang sedang dilakukan sang kakek. Lalu nenek menceritakan semuanya, nenek mengatakan bahwa kakek dan nenek telah meyusun rencana untuk mengatakan apa yang sedang Sari rasakan akhir – akhir ini. Sari kaget mendengarnya, ia tersendat dan tampak sangat kaget. Ia tak dapat berkata apa – apa lagi. Sari dan nenek saling diam dan saling memandang.
Hari – hari berlalu, Sari telah menjadi dirinya seperti sedia kala. Ia kembali pergi ke pasar untuk menjual sayuran. Saat akan menyebrang sungai, Sari bertemu dengan mahasiswa KKN yang ia lihat kemarin berdua dengan kakeknya. Sari ingin berbalik arah, namun ia takut, lalu ia melanjutkan saja perjalanannya sambil pura – pura tak melihat laki – laki itu. Namun ketika ia akan menyebrang, laki – laki itu menyapa Sari dan mengajaknya ngobrol sebentar. Laki – laki tersebut menceritakan semuanya kepada Sari tentang apa yang kemarin dia obrolkan dengan kakek Sari. Sari tambah kaget dan ia tak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya. Kakeknya menyangka bahwa Sari menyukai laki – laki ini, namun itu salah. Sari memang sedang jatuh cinta, namun bukan laki – laki ini yang dimaksud. Sari jatuh cinta dengan laki – laki bukan yang menyapa ketika pertama bertemu di ujung jalan di persawahan, namun dengan laki – laki yang berjalan beriringan dengan mahasiswa tersebut. Laki – laki yang berpakaian sangat sederhana dan mendampingi para mahasiswa tersebut. Namanya tidak salah adalah Agus. Anak dari seorang petani sayur yang sudah ia idamkan sejak lama, namun akhir – akhir ini jarang bertemu karena si Agus sedang keluar kota untuk mengirim sayur.
Setelah pulang dari pasar, Sari lalu menyusul kakek dan neneknya di sawah tentunya dengan membawa masakan yang telah ia masak. Ditengah perjalanan, entah ada angin apa, Sari bertemu dengan Agus. Tepat di sebuah jalan di ujung sawah ia berpapasan dan saling memandang namun tak saling menyapa. Saling mengharap sapaan namun tak saling menyapa, saling memendam rasa namun tak saling mengungkapkan, saling menunggu namun tak saling . . .
Kakek dan neneknya telah menunggu di gubuk tempat mereka biasanya makan. Sari datang dengan wajah berseri dan tampaknya sangat bahagia. Kakek dan nenek mengira bahwa ia baru saja bertemu salah satu mahasiswa KKN yang ia kagumi. Kakek dan nenek turut bahagia melihat Sari. Lalu nenek memulai percakapan dengan gurauan,
“ Bahagia, nduk. Alhamdulillah, pasti semua sayuran habis laris manis.”
“ Mboten, lagi bahagia ketemu yang membuat bahagia, Nti.”
“ Sinten kuwi cah ayu?” sahut kakek.
Mendengar kakeknya menyahut, Sari tak berani berkata lagi. Ia hanya tersenyum malu. Mereka melanjutkan makan sambil bergurau. Setelah selesai makan, Sari menceritakan semuanya tentang apa yang ia rasakan. Ia mengatakan kepada kakek dan neneknya bahwa ia sebenarnya tidak mengagumi orang seperti yang dimaksud kakek dan neneknya. Ia memang sedang mengagumi salah seorang dari rombongan yang dulu pernah menyapa kakek ketika di sebuah jalan di ujung sawah namun bukan mahasiswa yang sedang KKN. Kakek dan nenek mendengarkan cerita Sari dengan seksama. Beberapa kali tersenyum dan tampak juga raut muka kaget. Namun kakek dan nenek berusaha untuk tidak memotong pembicaraan Sari. Nenek dan kakek menunggu Sari selesai berbicara lalu baru berpendapat. Kakek dan nenek lega, karena ia tidak mengagumi orang yang tidak setara kehidupannya dengannya. Kakek dan nenek bersyukur lega.
. . . .
Seiring bumi berputar dan waktu kian berjalan. Rumah disebuah jalan di ujung sawah tak lagi berpenghuni. Beberapa bagian telah roboh dan disana – sini nampak sampah berceceran tanda telah bertahun – tahun tak dihuni. Sari kini telah menjadi seorang istri dengan seorang anak perempuan lucu yang kini menghiasi hidupnya tiap hari. Ayah dari anak perempuan lucu tersebut adalah seorang juragan sayuran. Ya Agus, laki – laki yang Sari kagumi sejak kakek dan neneknya masih hidup dulu telah melamarnya dan mempersuntingnya. Sari dilamar beberapa bulan setelah kematian kakeknya, lalu sebulan setelahnya ia melangsungkan pernikahan. Agus memboyong Sari dan neneknya kerumahnya, ia tak tega jika Sari dan neneknya harus tinggal disebuah rumah yang lebih layak disebut gubuk itu. Neneknya meninggal dunia saat Sari tengah mengandung 1 bulan pertama. Kesedihan Sari begitu dalam hingga kandungannya itu tak dapat lagi ia pertahankan. Entah cobaan apa yang sedang menimpanya itu. Sang suami dengan sabar membimbing Sari agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. 3 bulan berselang, Sari kembali mengandung, dan ia tahu kalau ia tengah hamil pada usia kandungan 5 minggu. Betapa senang hati Sari dan suaminya. Atas rasa bersyukurnya ini, Sari dan suaminya mengadakan syukuran, selain untuk rasa terimakasih kepada Allah, ini juga sebagai harapan agar Sari dan jabang bayinya selalu diberi kesehatan hingga melahirkan. Tepat satu tahun sang nenek meninggal, lahirnya bayi perempuan mungil dengan selamat. Bayi mungil tersebut membawa kebahagiaan dalam keluarga kecil Sari. Melia Rahma, nama yang diharapkan dapat membawa keberkahan dan menjadikannya sholihah dan selalu rendah hati seperti orang tuanya. Layaknya malaikat kecil yang dianugerahkan Allah kepada Sari dan suaminya, kehidupan mereka menjadi semakin lebih baik. Penjualan sayurannya mulai merambah ke banyak kota, persawahan untuk ditanami sayur – sayuran tak kurang dari  1 hektar. Rumah yang Sari tinggali sekarang tak seperti rumahnya dulu, kecil, usang, sempit, penuh bocor dimana – mana, dan tak layak disebut rumah, kini telah menjadi sebuah istana megah ditengah sebuah perkampungan yang berhawa sejuk.
....

2 komentar: